Bahayanya Membuatkan “Berita Hoax” Berdasarkan Imam Syafi’I
Anda pengguna media sosial? Jika iya tentu Anda mencicipi betul aneka macam fasilitas yang disediakan perangkat dunia maya ini, mulai dari saling mengirim pesan jarak jauh, mempublikasikan goresan pena dan foto secara kilat, sampai bertatap wajah dengan orang-orang di lintas negara.
Kemudahan-kemudahan tersebut di satu sisi menggambarkan betapa gampangnya insan masa sekarang berguru dan menjalin silaturahim tanpa hambatan jarak. Namun di sisi lain dapat menjadi jebakan bagi para penggunanya untuk semakin ringan berbuat mubazir bahkan merusak. Dengan bahasa lain, medsos membuka fasilitas bagi berbuat baik tapi sekaligus juga berbuat buruk.
Salah satu pemandangan yang dihasilkan media umum yakni banjirnya informasi sampai pada taraf yang amat liar. Informasi dengan simpel diterima seseorang kemudian dibagikan kembali, diterima orang lain kemudian didistribusikan lagi, dan seterusnya. Facebook, grup-grup Whatsapp, Twitter, Instagram, BBM, Line, atau sejenisnya pun disesaki pesan berantai yang entah benar atau salah, entah faktual atau bohong. Celakanya bila kabar itu ternyata salah/bohong dan ada pihak yang dirugikan.
Fenomena copy-paste atau pendistribusian isu ibarat ini pernah disinggung oleh Imam Syafi’i, bapak ushul fiqih dalam ilmu-ilmu keislaman. Ia menyebut kegiatan mengembangkan informasi yang belum diketahui benar-tidaknya sebagai al-kadzib al-khafiy (kebohongan tak terlihat/samar). Sebagaimana tertuang dalam kitab Ar-Risâlah:
أن الكذب الذي نهاهم عنه هو الكذب الخفي، وذلك الحديث عمن لا يُعرفُ صدقُه
“Sesungguhnya kebohongan yang juga dihentikan yakni kebohongan tak terlihat, yakni menceritakan kabar dari orang yang tak terperinci kejujurannya.”
Dalam Iryadul 'Ibad ila Sabilir Rasyad, Abdul 'Aziz al-Malibari yang juga mengutip perkataan Imam Syafi'i memaparkan redaksi kalimat secara lebih terang:
وَمِنْ الْكَذِبِ الْكَذِبُ الْخَفِيُّ ، وَهُوَ أَنْ يَرْوِيَ الْإِنْسَانُ خَبَرًا عَمَّنْ لَا يُعْرَفُ صِدْقُهُ مِنْ كَذِبِهِ
“Di antara jenis kebohongan yakni kebohongan yang samar. Yakni ketika seseorang menyebar informasi dari orang yang tak diketahui apakah ia bohong atau tidak.”
Imam Syafi’i menjelaskan hal itu dikala mengomentari hadits hadditsû ‘annî walâ takdzibû ‘alayya (ceritakanlah dariku dan jangan berbohong atasku). Periwayatan hadits bagi Imam Syafi’i tak boleh main-main. Bisa kita analogikan, begitu pula dengan periwayatan atau penyebaran informasi di media sosial. Tak selayaknya seseorang asal copy-paste, retweet, regram, atau share informasi dari orang lain tanpa melaksanakan terlebih dahulu verifikasi dan penjelasan (tabayyun).
Disebut “kebohongan samar” alasannya kegiatan tersebut dilakukan ibarat tanpa kesalahan. Karena bukan produsen informasi, melainkan sekadar penyebar, seseorang merasa enjoy saja melaksanakan copy-paste, apalagi informasi tersebut belum tentu salah atau bohong. Padahal, justru di sinilah tantangan terberatnya. Karena belum terperinci bohong atau salah, informasi tersebut juga sekaligus belum terperinci kebenaran dan kejujurannya.
Di tengah keraguan semacam itu, pengguna media umum wajib melaksanakan cek kebenaran. Jika tidak, pilihan terbaik yakni menyimpan informasi itu untuk diri sendiri, bila tidak ingin jatuh dalam tindakan haram al-kadzib al-khafiy. Kita juga mesti ingat bahwa dunia maya tidak sama dengan dunia imajiner atau khayalan. Media sosial sebagai salah satu unsur dari dunia maya mempunyai imbas nyata bagi kehidupan manusia, entah merugikan atau menguntungkan.
Alhasil, kalau penyebaran informasi yang mencurigai saja bagi Imam Syafi’i masuk katergori bohong (samar), penyebaran informasi palsu (hoax) tentu lebih parah. Orang mesti memikirkan dengan cermat dan memeriksanya secara niscaya setiap informasi yang ia peroleh sebelum buru-buru menyebarkannya. Itulah bentuk ikhtiar positif insan sebelum kelak mempertanggungjawabkan apa pun yang muncul dari anggota badannya, termasuk jari-jarinya.
Wallahu A’lam
Sumber : Situs PBNU
0 komentar:
Post a Comment