Ketika Bubuk Hurairah Menangis Tersedu-Sedu
Di antara sekian sahabat Nabi, Abu Hurairahlah yang paling produktif meriwayatkan hadits. Padahal, dari segi waktu ia tidak termasuk as-sabiqunal awwalun atau golongan pertama yang masuk Islam. Bahkan dalam sebuah riwayat ia hanya hidup bersama Nabi hanya sekitar empat tahun.
Fakta ini mengindikasikan betapa dekatnya laki-laki berjulukan orisinil Abdurrahman bin Shakhr ini dengan Rasulullah. Dari ketekunannya mengikuti kegiatan Rasulullah di banyak sekali tempat, ia tak hanya mendengar, bertanya, tapi juga mencatat serta menghafal apa yang ia serap. Iniah yang menjadikan Abu Hurairah masuk dalam formasi sahabat yang utama, dan namanya terus disebut sampai kini alasannya yaitu riwayat-riwayat haditsnya.
Dengan kadalaman wawasan mengenai perkataan, perilaku, dan kepribadian Rasulullah, rasanya tidak mungkin membayangkan Abu Hurairah sebagai sahabat dengan kaulitas ibadah dan amal kebaikan hanya di level rata-rata. Apalagi, ia bukan cuma pendengar dan penghafal yang baik tapi juga peneladan Rasulullah yang ketat.
Meski demikian, ibarat abjad generasi salaf pada umumnya, prestasi ibadah dan kualitas diri tak serta merta menciptakan Abu Hurairah besar kepala dan lalai. Bak tanaman padi, makin berisi makin merunduk, demikian pula yang dialami Abu Hurairah. Semakin tinggi yang ia capai, semakin tampak baginya kekurangan dalam dirinya.
Seperti yang diceritakan Salim ibn Bisyr ibn Jahal. Suatu kali Abu Hurairah yang sedang sakit menangis tersedu-sedu. Apa yang menciptakan ia tersedu-sedu? Penyakit yang ia deritakah? Kehilangan benda yang ia sayangikah?
"Aku tidak sedang menangisi dunia kalian ini," jawabnya ibarat dikisahkan dalam Raudlatuz Zahdin karya Abul Malik Ali al-Kalib ketika pertanda penggalan taqwa.
Abu Hurairah menjelaskan bahwa ia tengah menangisi nasib perjalanannya di darul abadi kelak. Ia merasa perbekalan hidupnya masih sedikit. Dengan kenyataan begini, Abu Hurairah membayangkan bakal naik turun antara nirwana dan neraka. "Aku tidak tahu, manakah daerah bersedia saya singgahi?"
Bila Abu Hurairah yang “lengket” dengan Nabi saja merasa tidak mempunyai kepastian nasib di darul abadi kelak, lantas bagaimana dengan orang-orang yang tak selevel beliau?
Di sinilah kita dapat menyerap pelajaran bahwa tak seorang pun dapat mengklaim sudah berada di zona nyaman kehidupan akhirat, sebagaimana tak dapat juga orang menuduh orang lain berada dalam masa depan jelek di hari kemudian. Bagaimana mungkin kita dapat memberi jaminan nasib darul abadi sementara kekuasaan itu hanya Allah yang memiliki? Yang dapat dilakukan insan sebatas ikhtiar menjadi sebaik mungkin, sembari terus mengoreksi kekurangan diri sendiri kemudian berusaha memperbaikinya.
Wallahu A’lam
Sumber : Situs PBNU
0 komentar:
Post a Comment